BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap
manusia pasti mengalami proses belajar baik dalam keluarga, sekolah dan
lingkungan yang menghasilkan perubahan pengetahuan dan perilaku secara permanen
dan proses belajar tersebut berlangsung sampai akhir hayat. Belajar merupakan
suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu perubahan
dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar,
dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Penjelasan
tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori belajar adalah
upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan belajar, sehingga membantu
kita memahami proses kompleks inheren pembelajaran.
Ada tiga kategori utama atau
kerangka filosofis mengenai teori
belajar, yaitu: behaviorisme,
kognitivisme, dan konstruktivisme . Behaviorisme hanya berfokus pada
aspek objektif diamati pembelajaran.Teori kognitif melihat melampaui perilaku
untuk menjelaskan pembelajaran berbasis otak. Dan pandangan konstruktivisme
belajar sebagai sebuah proses di mana pelajar aktif membangun atau membangun
ide-ide baru atau konsep.
1.2
Rumusan Masalah
a. Apa definisi belajar?
b. Bagaimanakah bentuk-bentuk belajar
dalam proses pembelajaran?
c. Apakah yang dimaksud dengan teori
belajar?
d. Bagaimanakah bentuk perkembangan
teori belajar?
1.3
Tujuan
a. Mengetahui
definisi belajar dan penerapannya dalam kehidupan
b. Mengetahui
teori-teori belajar serta contohnya
c. Dapat
memahami hal-hal yang perlu diterapkan dalam proses belajar dengan teori-teori belajar
d. Memenuhi
tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran untuk memudahkan dalam proses
belajar mengajar.
1.4
Manfaat
a. Dapat
mengetahui bentuk-bentuk belajar dan teori-teori yang diungkapkan oleh para
ahli
b. Dengan
mengetahui bentuk-bentuk belajar serta teorinya, akan lebih mudah
mengaplikasikan kepada peserta didik
c. Menambah
wawasan guna menjadi pribadi yang lebih baik dalam menggunakan teori belajar
yang telah diperoleh dengan proses belajar mengajar yang baik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Belajar
Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi,
keterampilan, dan sikap. Belajar dimulai sejak manusia lahir sampai akhir
hayat. Kemampuan manusia untuk belajar
merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk hidup
lainnya. Belajar mempunyai keuntungan, baik bagi individu maupun bagi
masyarakat. Bagi individu, kemampuan untuk belajar secara terus akan memberikan
kontribusi terhadap pengembangan kualitas hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat,
belajar mempunyai peran yang penting dalam mentransmisikan budaya dan
pengetahuan dari generasi ke generasi ( Bell-Gredler, 1986).
Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, secara etimologi belajar memiliki arti “berusaha memperoleh
kepandaian atau ilmu”. Definisi ini memiliki pengertian bahwa belajar adalah
sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu. Usaha untuk mencapai kepandaian atau ilmu merupakan usaha
manusia untuk memenuhi kebutuhannya mendapatkan ilmu atau kepandaian yang belum
dipunyai sebelumnya. Sehingga dengan belajar itu manusia menjadi tahu,
memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu
(Fudyartanto, 2002).
Belajar yaitu semua
aktivitas mental atau psikis yang dilakukan oleh seseorang individu sehingga
terciptanya perubahan
tingkah laku yang berbeda antara sesudah belajar dan sebelum belajar. Jadi bisa disimpulkan jika seseorang telah belajar
namun hasilnya nol besar berarti dia belum bisa dikatakan belajar. Karena sudah
jelas dipaparkan diatas bahwa arti belajar yang sesungguhnya harus mencapai
sebuah hasil (setelah belajar) yaitu perubahan. Adapun
definisi belajar menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
·
Robert. M. Gagne dalam bukunya : The Conditioning
of learning 1977, mengemukakan
bahwa : Learning is a change in human disposition or capacity, wich persists
over a period time, and wich is not simply ascribable to process of growth
; Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar
secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja.
Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan
faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi. Dalam teori psikologi
konsep belajar Gagne ini dinamakan perpaduan antara aliran behaviorisme dan aliran
instrumentalisme.
Belajar
merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan tingkah laku,
yang keadaaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan
sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat
adanya suatu pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta
akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah.
· Moh.
Surya (1981:32)
Belajar adalah
suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu
sendiri dalam interaksinya dengan
lingkungan.
· Noehi Nasution
Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan timbulnya atau
berubahnya suatu tingkah laku sebagai hasil terbentuknya respon utama, dengan
syarat bahwa perubahan atau munculnya perilaku baru itu bukan disebabkan oleh
adanya kematangan atau adanya perubahan sementara karena suatu hal.
·
Hintzman,
Douglas L (
The Psychology
of Learning and Memor y 1987 )
Suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia
atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku
organisme tersebut.
·
Moh. Surya (1981:32)
Suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru keseluruhan, sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Kesimpulan yang bisa diambil dari
kedua pengertian di atas, bahwa pada prinsipnya, belajar adalah perubahan dari
diri seseorang.
·
Nasution
Belajar
adalah menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan.
·
OEMAR
H.
Belajar
adalah bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan
dalam cara-cara berperilaku yang baru berkat pengalaman dan latihan.
·
WINKEL
Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilakn perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, dan sikap-sikap
Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilakn perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, dan sikap-sikap
2.2 Bentuk-bentuk
belajar
Gagne (1984) mengemukakan bahwa ada lima
bentuk belajar yaitu:
1. Belajar Responden
Dalam belajar
responden, suatu respon dikeluarkan oleh stimulus yang telah dikenal. Beberapa contoh belajar
responden adalah hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Psikologi Rusia
yang terkenal yaitu Ivan Pavlov. Misalnya, seorang anak yang untuk pertama
kalinya masuk sekolah, mungkin timbul perasaan takut, disebabkan oleh sikap
guru yang tidak ramah, disiplin sekolah, atau ejekan teman-temannya. Apabila
kita terangkan kasus di atas dengan model belajar responden maka dapat
dikatakan sebagai berikut. Sekolah dan semua konponen-komponennya, mungkin saja
pada suatu ketika menimbulkan rasa takut, sebab semua ini telah terkait dengan
stimulus-stimulus yang menginduksi perasaan negatif.
Perasaan “ takut
akan simbol” yang timbul pada diri siswa bila mereka menghadapi pelajaran
matematika, mungkin didasarkan pada responden terkondisi tentang respon-repon
takut terhadap soal-soal matematika. Ketika melihat simbol-simbol dan bidang studi yang sulit, menimbulkan emosi
negatif dalam diri siswa, dan inilah yang kerap kali menghalang-halangi belajar
efektif.
Sesungguhnya apa
saja dalam lingkungan dapat menjadi berpasangan dengan suatu stimulus yang
menimbulkan respons-respons emosional. Kata-kata guru yang ramah maupun yang
kasar dapat menimbulkan rasa senang atau takut pada diri siswa. Seorang guru
yang meneliti peristiwa-peristiwa belajar dengan model belajar responden,
mungkin dapat menolong para siswa memahami perasaan mereka, mencapai hasil
belajar yang lebih memuaskan, dan mencegah siswa dari belajar respons-respons
yang tidak diinginkan.
2. Belajar Kontiguitas
Asosiasi dekat (contiguous)
sederhana antara suatu stimulus atau suatu respons dapat menghasilkan suatu
perubahan dalam prilaku. Kekuatan belajar kontiguitas sederhana dapat dilihat
bila seseorang memberikan respon terhadap pernyataan-pernyataan yang belum
lengkap seperti tertulis di bawah ini.
· “Lima kali lima sama dengan ….”
· “Gapailah cita-citamu setinggi …”
Bentuk belajar
kontiguitas yang lain misalnya bila sinetron TV secara berulang kali
memperlihatkan seorang ilmuwan dengan berkaca mata, seorang guru dengan orang
yang ramah, seorang ibu tiri dengan wanita yang kejam, seorang sastrawan
berjenggot panjang, maka dapatlah dikatakan bahwa siaran TV itu telah
menciptakan stereotyping. Sebab, tidak semua ilmuwan berkata mata, tidak semua ibu
tiri kejam, dsb. Tetapi dengan kerapkalinya dipasangkan kategori-kategori itu,
orang percaya bahwa konsep-konsep itu berjalan seiring.
3.
Belajar
Operant
Belajar sebagai akibat penguatan merupakan bentuk belajar lain yang banyak diterapkan
dalam teknologi modifikasi prilaku. Bentuk belajar ini disebut terkondisi
operant, sebab prilaku yang diinginkan timbul secara spontan, tanpa dikeluarkan secara naluriah oleh stimulus apapun, saat organisme tersebut “beroperasi” terhadap lingkungan.
Prilaku operant tidak mempunyai
stimulus fisiologis yang dikenal. Perilaku operant
tidak “dikeluarkan” tetapi “dipancarkan” dan konsekuensi atas perilaku itu bagi
organism merupakan variabel yang penting dalam belajar operant. Bentuk belajar operant ditunjukkan dalam prilaku berbagai
hewan, misalnya kuda mengangguk kepalanya. Pada manusia berlaku hal yang sama,
Berbagai prilaku manusia dapat ditimbulkan berulang kali dengan adanya
reinforsement,
segera setelah adanya respon, baik berupa pernyataan, gerakan, atau tindakan.
4. Belajar
Kognitif
Beberapa ahli psikologi berpendapat
bahwa, konsep-konsep belajar yang telah dikenal, tidak satu pun yang
mempersoalkan proses-proses kognitif yang terjadi selama belajar. Proses-proses
semacam itu menyangkut “insight”, atau berpikir dan “reasoning”, atau menggunakan
logika deduktif dan induktif. Walaupun konsep-konsep lain tentang belajar dapat
diterapkan pada hubungan-hubungan stimulus dan respon yang arbitrer dan tak
logis, para ahli psikologi dan pendidikan ini berpendapat, bahwa lebih banyak
dibutuhkan untuk menjelaskan belajar tentang hubungan-hubungan yang logis,
rasional, atau non-arbitrer.
5. Belajar
Observasional
Bentuk lain dari belajar pada
bagian ini adalah bentuk observasional. Bentuk belajar observasional banyak
kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bila kita pertama kali belajar
mengendarai mobil, kita akan mengamati seorang instruktur untuk mengetahui
urutan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk menghidupkan dan kemudian menjalankan
mobil. Demikian pula, bila seseorang mulai bermain volly, ia berusaha meniru
temannya yang terkenal sebagai pemain ulung, dalam melemparkan bola.
Konsep belajar observasional
memperlihatkan, bahwa orang dapat belajar dengan mengamati orang lain melakukan
apa yang akan dipelajari. Karena itu, perlu diperhatikan agar anak-anak lebih
banyak diberi kesempatan untuk mengamati model-model prilaku yang baik atau
yang kita inginkan, dan mengurangi kesempatan-kesempatan untuk melihat
prilaku-prilaku yang tidak baik.
2.3
Teori-teori Belajar
Ada tiga kategori utama atau
kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar,
yaitu: teori belajar behaviorisme, teori belajar kognitivisme,
dan teori belajar konstruktivisme. Teori belajar behaviorisme
hanya berfokus pada aspek objektif diamati pembelajaran. Teori kognitif melihat
melampaui perilaku untuk menjelaskan pembelajaran
berbasis otak. Dan pandangan konstruktivisme belajar sebagai sebuah proses di
mana pelajar aktif membangun atau membangun ide-ide baru atau konsep.
Teori Behaviorisme diperkenalkan oleh John B,
Watson (1878-1958), Seorang ahli psikologi berkebangsaan Amerika. Di Amerika
Serikat, Watson dikenal sebagai bapak Behaviorisme karena prinsip-prinsip
pembelajaran barunya berdasarkan teori Stimulus-Response Bond (S-R Bond).
Menurut Behaviorisme yang dianut oleh Watson. Tujuan utama psikologi adalah
membuat prediksi dan pengendalian terhadap perilaku, dan sedikitpun tidak ada
kaitannya dengan kesadaran. Yang dapat dikaji oleh psikologi menurut teori ini
adalah benda-benda atau hal-hal yang dapat diamati secara langsung, yaitu
rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons), sedangkan hal-hal yang terjadi
dalam otak tidak berkaitan dengan kajian. Maka dalam proses pembelajaran,
menurut Watson tidak ada perbedaan antara manusia dan hewan.
Teori behaviorisme dengan model hubungan
stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat
adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin,2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang
penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Edwin Guthrie Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang
peran penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh seorang
anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu mencampakkan baju dan
topinya di lantai, kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali
oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil
menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungan. Setelah beberapa kali
melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terisolasi dengan
stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak
lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan
ide tentang “penguatan” (reinforcement). Skinner dari semua pendukung teori
tingkah laku, mungkin teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan
teori belajar.
Dalam teori belajar behavioral, terdapat beberapa prinsip yaitu
classical conditioning, operant conditioning, pembentukan kebiasaan
(habituation), dan peniruan (imitation).
·
Classical conditioning adalah asosiasi respon yang otomatik dengan stimulus baru. Dengan
kata lain sebagai kemampuan menghasilkan respon terhadap stimulus baru
berdasarkan pengalaman yang diperoleh sebelumnya secara berulang-ulang.
Misalnya belajar mengeja, mengingat-ingat perbendaharaan kata asing.
·
Operant conditioning adalah tindakan yang dikendalikan oleh tujuan disebut operant.
Proses belajar yang terlibat didalam mengubah perilaku operant disebut operant
conditioning (instrumental conditioning). Dengan demikian yang dimaksud dengan
operant conditioning (Santrock and Yussen, 1992) adalah belajar dalam hal mana
perilaku otomatis diperkuat atau diperlemah oleh consequence atau antecendence.
Pengaruh yang mendahului disebut antendence dan mengikutinya disebut
consequence.
·
Pembentukan kebiasaan
(habituation) adalah presentasi suatu stimulus
yang terjadi berulang-ulang dapat menyebabkan kurngnya perhatian terhadap
stimulus. Sebaliknya dishabituation adalah suatu minat bayi yang diperbaharui
terhadap suatu stimulus, Santrock and Yussen (1992). Diantara peneliti perilaku
biasa melakukan studi tentang kebiasaan yang terjadi, yaitu perilaku memasukkan
tangan ke mulut, (perilaku memasukkan ke mulut akan berhenti ketika anak bayi
itu sudah menemukan benda aslinya).
·
Peniruan (imitation), Albert bandura (Santrock and Yusen, (1992) adalah salah seorang
tokoh psikologi yang sangat terkenal dalam mengenalkan konsep imitasi.
Berpendapat bahwa imitasi atau modeling terjadi ketika anak-anak belajar
perilaku barudengan melihat orang lain bertindak. Kemampuan belajar pola-pola perilaku
dengan mengobservasi dapat menghilangkan perilaku belajar yang trial eror.
Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri
kuat yang mendasarinya yaitu :
·
Mementingkan pengaruh
lingkungan
·
Mementingkan
bagian-bagian (elementalistik)
·
Mementingkan peranan
reaksi.
·
Mengutamakan mekanisme
terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon.
·
Mementingkan peranan
kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
·
Mementingkan
pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
·
Hasil belajar yang
dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan
Guru yang menggunakan paradigma Behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang
dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi
ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hirarki dari yang
sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan
diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya
suatu perilaku yang diinginkan. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa
yang berpusat pada guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil.
Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru
sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.
2.
Teori
Belajar Kognitivisme
Teori belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori
perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki
perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui
upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan
pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan teori kognitif ini
adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini,
masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek
pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Bruner
bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban
atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.
Bruner mengembangkan teorinya
tentang perkembangan intelektual, yaitu:
1. Enactive,
dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada
objek
2. Iconic,
dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar
3. Symbolic yang mendeskripsikan
kapasitas dalam berfikir abstrak
Prinsip-Prinsip Konsep Belajar Kognitivisme
Prinsip-prinsip teori belajar
bermakna Ausebel ini dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar dengan aplikasi yang
menuntut peserta didik belajar secara deduktif (dari umum ke khusus) dan lebih
mementingkan aspek struktur kognitif peserta didik. Langkah penerapan dalam
pembelajaran melalui
tahap-tahap sebagai berikut:
1.
Menentukan tujuan-tujuan
instruksional
2.
Mengukur kesiapan peserta didik
(minat, kemampuan, struktur kognitif) baik melalui tes awal, interview,
pertanyaan dll.
3.
Memilih materi pelajaran dan
mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci
4.
Mengidentifikasikan prinsip-prinsip
yang harus dikuasai peserta didik dari materi tsb.
5.
Menyajikan suatu pandangan secara
menyeluruh tentang apa yang harus dikuasai pesertadidik.
6.
Membuat dan menggunakan
"advanced organizer" paling tidak dengan cara membuat rangkuman
terhadap materi yang baru disajikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang
menunjukkan relevansi (keterkaiatan) materi yang sudah diberikan dengan yang
akan diberikan.
7.
Mengajar peserta didik untuk
memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan dengan memberi
fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep yang ada
8.
Mengevaluasi proses dan hasil
belajar
Menurut
Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme dari beberapa contoh
diatas banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan
kegiatan perancangan pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah;
1.
Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun
berdasarkan pola dan logika tertentu
2.
Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit.
Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu
tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana
3.
Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian.
Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa
sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah
diketahui sebelumnya
4.
Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor
ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan
intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan lain-lain. (Toeti Soekamto
1992:36)
3. Teori Belajar
Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat
pendidikan dapat diartikan konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata
susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan
itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dengan teori konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan
masalah, mencari ide dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena
mereka terlibat langsung dalam mebina pengetahuan baru,
mereka akan lebih paham dan mampu mengaplikasikannya dalam semua situasi.
Selian itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih
lama semua konsep.
Berpijak pada tiga teori belajar
seperti dijelaskan di atas, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus
selaras dengan teori belajar yang dianut. Dengan kata lain, apabila kita
menganut teori behaviorisme, maka model pembelajaran yang dapat digunakan
diantaranya adalah model pembelajaran yang tergolong pada kelompok perilaku.
Untuk penganut teori kognitivisme,
model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran yang mengarah
pada proses pengolahan informasi. Adapun untuk yang menganut teori belajar
konstruktivisme, maka model pembelajaran yang dikembangkan adalah model
pembelajaran yang bersifat interaktif dan model pembelajaran yang berpusat pada
masalah. Hal ini didasarkan pada salah satu prinsip yang dianut oleh
konstruktivisme, yaitu bahwa setiap siswa menstruktur pengetahuannya sendiri
berdasarkan pengalaman dan hasil interaksinya dengan lingkungan sekitar. Jadi
pengetahuan itu tidak begitu saja diberikan oleh guru.
2.4 Perkembangan Teori
Belajar
Perubahan merupakan hal yang melekat dalam perkembangan.
E.B. Hurlock (Istiwidayanti dan Soejarwo, 1991) mengemukakan bahwa perkembangan
atau development merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi
sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti, perkembangan
terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat progresif (maju), baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.
Perubahan kualitatif disebut juga ”pertumbuhan” merupakan buah dari
perubahan aspek fisik seperti penambahan tinggi, berat dan proporsi badan
seseorang. Perubahan kuantitatif meliputi peubahan aspek psikofisik, seperti
peningkatan kemampuan berpikir, berbahasa, perubahan emosi dan sikap, dll.
Selain perubahan ke arah penambahan atau peningkatan, ada juga yang mengalami
pengurangan seperti gejala lupa dan pikun. Jadi perkembangan bersifat dinamis
dan tidak pernah statis.
Terjadinya dinamika dalam perkembangan disebabkan adanya ”kematangan
dan pengalaman” yang mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan
aktualisasi/realisasi diri. Kematangan merupakan faktor internal (dari dalam)
yang dibawa setiap individu sejak lahir, seperti ciri khas, sifat, potensi dan
bakat. Pengalaman merupakan intervensi faktor eksternal (dari luar) terutama
lingkungan sosial budaya di sekitar individu. Kedua faktor (kematangan dan
pengalaman) ini secara stimultan mempengaruhi perkembangan seseorang. Seseorang
anak yang memiliki bakat musik dan didukung oleh pengalaman dalam lingkungan
keluarga yang mendukung perkembangan bakatnya seperti menyediakan dan memberi
les musik, akan berkembang terus menerus sepanjang hayat memungkinkan manusia
menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana manusia hidup. Sikap manusia
terhadap perubahan berbeda-beda tergantung beberapa faktor, diantaranya
pengalaman pribadi, streotipe dan nilai-nilai budaya, perubahan peran, serta
penampilan dan perilaku seseorang.
Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya yang dilakukan
membantu perkembangan peserta didik. Oleh karena itu pendidikan perlu
disesuaikan dengan proses dan tahapan perkembangan. Artinya, penyelenggaraan
pendidikan didasarkan pada pengetahuan perkembangan khas individu dalam rentang
usia (ketepatan usia) dan keunikan anak (ketepatan individual). Prinsip
perkembangan yang perlu dipahami untuk dapat menyelenggarakan pendidikan
berbasis pada perkembangan yaitu : perkembangan
fisik, kognitif, dan sosioemosional merupakan domain yang saling
berkaitan. Perkembangan dalam satu domain dapat mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh perkembangan pada domain lainnya.
a. Perkembangan fisik
Proses belajar berlangsung secara fisik dan mental. Anak
melakukan berbagai aktivitas fisik sebagai pengalaman belajar. Kondisi panca
indra, normalitas anggota tubuh, asupan gizi dan keadaan kesehatan secara
menyeluruh mempengaruhi proses belajar. Seorang siswa yang sedang lapar tidak
dapat berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas belajar, karena perhatiannya lebih
terpusat pada perasaan lapar yang dirasakannya. Demikian juga dengan kondisi panca
indra. Penglihatan, pendengaran sangat diperlukan dalam belajar. Gangguan pada
fungsi panca indra menyebabkan perhatian individu tidak optimal dalam belajar.
Perkambangan fisik motorik yang kurang sempurna dapat menyebabkan gangguan
belajar pada siswa.
Demikian juga halnya dengan perkembangan fisik yang
terlalu cepat atau terlambat dari ukuran anak-anak seusianya akan dapat
mempengaruhi perilaku anak belajar diantara sebayanya. Masa pubertas
berhubungan dengan perubahan hormon di dalam diri individu yang berakibat pada
perubahan fungsi-fungsi fisiologis. Akibatnya para siswa di usia pubertas
sering mengalami gangguan fisik dalam belajar. Misalnya, perubahan bentuk dan
berat badan, suara yang membesar, gerakan fisik yang semakin lamban, mudah
mengantuk, perasaan tidak nyaman ketika mengalami haid, semua ini memberi
pengaruh terhadap suasana belajar siswa. Guru perlu menyadari bahwa keadaan
fisik dan semua perubahan-perubahan yang dialami siswa dalam proses
perkembangannya mempengaruhi proses belajar siswa. Oleh karena itu guru perlu
memberi informasi kepada siswa tentang hal ini sehingga mereka dapat
memahaminya secara benar dan siap secara mental menghadapinya. Sejalan dengan
ini guru juga perlu memperhatikan keadaan fisik ini dalam manajemen kelas. Dengan
cara ini faktor-faktor fisik yang kemungkinan akan menghambat proses belajar
siswa dapat dikendalikan sehingga tidak sampai berpengaruh secara meluas.
b. Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif adalah proses perubahan kemampuan
individu dalam berpikir. Membahas tentang perkembangan kognitif berarti
membahas tentang perkembangan individu dalam berpikir atau proses kognisi atau
proses mengetahui. Dalam psikologi, proses mengetahui dipelajari dalam bidang
psikologi kognitif. Bidang ini dipelopori oleh J.J. Piaget, yang terkenal
dengan teori pentahapan kognitifnya yang disebut perkembangan kognitif.
Piaget
membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi
dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia :
1. Periode sensorimotor (usia 0-2
tahun)
2. Periode praoperasional (usia 2-7 tahun)
3. Periode operasional konkrit (usia 7-11 tahun)
4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
2. Periode praoperasional (usia 2-7 tahun)
3. Periode operasional konkrit (usia 7-11 tahun)
4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
c. Sosioemosional
Salah satu perkembangan yang dialami individu adalah perkembangan
sosio-emosi. Hal tersebut muncul seiring dengan berjalannya waktu dan
pengalaman-pengalaman yang dialami oleh individu. Dalam perkembangan
sosio-emosi, khususnya pada masa bayi, memiliki hubungan dengan perihal
keterikatan (attachment), peran ayah sebagai pengasuh anak, tempat pengasuhan
anak (day care), dan emosi.
Perkembangan ini berhubungan dengan perkembangan diri,
penghargaan diri. Perkembangan ini berhubungan dengan keluarga, teman sebaya,
dan sekolah. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa harga
diri pada anak adalah dengan menerapkan tiga kunci untuk meningkatkan rasa
harga diri yaitu: mengidentifikasi
penyebab rendah diri dan kompetensi penting bagi diri. Pada anak-anak
yang diabaikan keluarga dukungan dari teman dan sekolah untuk meningkatkan
kompetensinya akan meningkatkan harga diri anak, memberi dukungan emosional
dan penerimaan sosial. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang banyak
menyalahkan anak, menghina anak, penilaian negative dapat dibantu dengan
dukungan emosional ini, membantu
anak mencapai tujuannya dan berprestasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Belajar adalah sebuah proses
perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut ditampakkan dalam
bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan
kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, ketrampilan, daya pikir,
dan kemampuan-kemampuan yang lain.
Teori
belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian
kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode
pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Ada
tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar,
yaitu: teori belajar behaviorisme, teori belajar kognitivisme,
dan teori belajar konstruktivisme.
Gagne (1984) mengemukakan bahwa ada lima
bentuk belajar yaitu: Belajar Responden,
Belajar Kontiguitas,
Belajar Operant, Belajar Observasional,
dan Belajar Kognitif. Semua unsur ini
dapat dijadikan bahan acuan untuk menciptakan suatu model teori belajar yang
dianggap cocok, tidak perlu terpaku dengan kurikulum yang ada asalkan tujuan
dari teori belajar ini sama dengan tujuan pendidikan.
3.2 Saran
Untuk mengembangkan potensi anak didik
dan menciptakan generasi-generasi masa depan yang berkualitas, maka diperlukan
adanya pemahaman tentang perkembangan anak didik. Dengan demikian, sebagai
pendidik kita diharuskan mengetahui dan memahami perkembangan dari peserta
didik serta teori-teori belajar yang diterapkan dalam proses belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Slameto, 1987. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta, Rineka
Cipta.
Mulyati,2005. Psikologi Belajar. Yogyakarta: Andi
Offset
Dwijandono
dan Sri Esti Wuryani. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud
Prof. Dr.
Ratna Wilis Dahar, M.Sc ; Teori-Teori
Belajar dan Pembelajaran. Airlangga
Asupri.2011.
Teori-teori Belajar. Online. http://asupri.blogspot.com/2011/01/teori-teori-belajar.html
0 komentar:
Posting Komentar