BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Belajar
adalah suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat
dari pengalaman. Belajar juga bisa diartikan suatu proses yang berlangsung
untuk memahami suatu hal. Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan belajar
dan memahami apa yang dipelajari, munculah teori-teori belajar. Banyak sekali
teori belajar yang telah berkembang sejak dulu sampai sekarang. Salah satu teori belajar yang berkembang
pesat dan memberi banyak sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori
belajar tingkah laku (behavioristik) yang dikembangkan oleh psikolog asal Rusia
yang bernama Ivan Pavlov pada tahun 1900-an, dengan teorinya yang dikenal
dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning) dan kemudian teori
belajar ini dikembangkan oleh beberapa ahli psikolog yang lain.
Teori
belajar tingkah laku (behavioristik) ini bertujuan pada hasil yang dapat diukur
dan diamati. Pengulangan dan pelatihan dalam mendidik digunakan supaya perilaku
yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan bagi peserta didik. Oleh karena itu
dalam makalah ini akan dibahas lebih jelas tentang teori belajar tingkah laku
(behavioristik), teori belajar tingkah laku (behavioristik) menurut para ahli,
implementasi teori belajar tingkah laku (behavioristik), serta kelebihan dan
kekurangan teori belajar tingkah laku (behavioristik).
1.2 Rumusan masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan teori belajar
tingkah laku (behavioristik)?
2.
Apa prinsip-prinsip dasar teori belajar
tingkah laku (behavioristik)?
3.
Bagaimana pengimplementasian teori
belajar tingkah laku (behavioristik) kepada peserta didik?
1.3 Tujuan
1.
Agar memahami apa yang dimaksud dengan
teori belajar tingkah laku (behavioristik).
2.
Agar memahami prinsip-prinsip dasar teori
belajar tingkah laku (behavioristik).
3.
Agar memahami bagaimana cara
mengimplementasikan teori belajar tingkah laku (behavioristik) kepada peserta
didik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Teori belajar tingkah laku (behavioristik)
Teori Behavioristik merupakan sebuah
teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan
pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu
jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon,
oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima
oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Teori belajar tingkah laku
(behavioristik) memiliki tokoh-tokoh yang memprakarsai aliran behavioristik.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik adalah sebagai berikut:
§ Ivan
Petrovitch Pavlov (1849-1936)
Ivan
Petrovitch Pavlov memperkenalkan teorinya yang dikenal dengan nama
Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning). Beberapa hukum yang berkaitan dengan
teori pengkondisian klasikal (classical conditioning theory) dari Pavlov
(Atkinson, et.al. 1997) adalah sebagai berikut.
a.
Pemerolehan
Pemberian
stimulus yang tidak terkondisi (ST) bersama-sama dengan stimulus terkondisi
(SD) disebut percobaan (trial) dan periode selama organisme belajar
mengasosiasikan kedua stimuli disebut sebagai “pemerolehan pengkondisian”
(acquisition stage of conditioning). Interval waktu penyajian ST dan SD dapat
saja berbeda. Melalui penyajian ST dan SD ini akan mengakibatkan terbentuknya
respon terkondisi (RD). Dengan terbentuknya RD yang memang diharapkan maka
dapat dikatakan bahwa seseorang telah belajar. Pembentukan RD ini pada umumya
bersifat gradual. Makin banyak (sering) diberikan ST dan SD akan mengakibatkan
RD yang dibentuk makin mantap. Sampai pada suatu saat tanpa diberikan ST, tetap
akan terbentuk RD yang diharapkan.
b. Pemunahan (Extinction)
Bila
perilaku terkondisi tidak diteruskan (dikuatkan) atau bila stimulus tidak
terkondisi (ST) berulang-ulang tidak diberikan, maka respon terkondisi (RD)
kadarnya makin menurun dan akhirnya dapat menghilang sama sekali. Pengulangan
stimulus terkondisi (SD) tanpa penguatan (ST) ini disebut pemunahan
(extinction), yakni proses hilangnya respon yang diharapkan. Jika diberikan ST
kembali maka RD yang telah hilang dapat muncul kembali (spontaneous recovery)
dalam waktu yang relatif singkat.
c. Generalisasi
Bila
respon terkondisi (RD) diperoleh sebagai tanggapan atas suatu stimulus
tertentu, maka stimulus lain yang sejenis (serupa), akan menyebabkan terjadinya
RD tersebut. Makin serupa stimulus baru tersebut dengan stimulus aslinya, makin
tinggi pula kemungkinan terjadinya RD tersebut. Prinsip ini disebut sebagai
generalisasi (generalization). Prinsip ini menerangkan akan adanya kemampuan untuk
bereaksi pada situasi baru sepanjang stimulus serupa dengan stimulus yang
dikenal.
d. Diskriminasi
Diskriminasi
merupakan reaksi terhadap stimulus yang berbeda. Menurut Morgan (1986),
diskriminasi stimuli merupakan suatu proses belajar untuk memberikan respon
terhadap suatu stimuli tertentu atau tidak memberikan respon sama sekali
terhadap stimulus lain. Hal ini dapat diperoleh dengan cara memberikan ST lain.
Generalisasi
dan diskriminasi muncul dalam perilaku sehari-hari. Anak kecil yang telah
merasa takut pada anjing (generalisasi). Lambat laun melalui proses penguatan
dan peniadaan diferensial, rentang stimulus rasa takut semakin menyempit, hanya
pada anjing yang berperilaku galak (diskriminasi).
§ Edward
Lee Thorndike (1874 - 1949)
Menurut Thorndike, belajar merupakan
proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan,
gerakan atau tindakan. Teori Thorndike ini sering disebut teori koneksionisme.
Prinsip pertama teori koneksionisme
adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan
panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang
atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung
mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar
menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang
memberikan sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia
dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Selain
itu, bentuk belajar yang paling khas baik pada hewan maupun pada manusia
menurutnya adalah “trial and error learning atau selecting and connecting
learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Menurut Thorndike terdapat tiga hukum belajar yang utama yaitu :
a. The
Law of Effect (Hukum Akibat)
Hukum akibat yaitu hubungan stimulus
respon yang cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung
diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat
atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang
disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan
diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan
cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah”
hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia
mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum.
Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
b. The
Law of Exercise (Hukum Latihan)
Hukum latihan yaitu semakin sering
tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin
kuat. Dalam hal ini, hukum latihan mengandung dua hal:
·
The
Law of Use, hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat,
kalau ada latihan yang sifatnya lebih memperkuat hubungan itu.
·
The
Law of Disue, hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah
lemah atau terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang
melemahkan hubungan tersebut.
c. The
Law of Readiness (Hukum Kesiapan)
Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu
organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah
laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan
suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada
kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi
memuaskan.
§ Burrhus
Frederic Skinner (1904 - 1990)
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner
tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu
menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus
yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi
respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku.
Oleh karena itu dalam memahami tingkah
laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu
dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah karena
perlu penjelasan lagi.
§ John
Watson (1878 - 1958)
Watson adalah seorang behavioris murni,
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau
Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh
mana dapat diamati dan diukur. Menurut
Watson, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon tersebut harus dapat diamati dan diukur. Jadi perubahan-perubahan
mental dalam diri seseorang selama proses belajar, tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Pandangan utama Watson:
a. Psikologi
mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang dimaksud dgn stimulus
adalah semua obyek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh.
Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai
dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran
kelenjar. Respon ada yang overt dan covert, learned dan unlearned
b. Tidak
mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku
manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting (lihat
pandangannya yang sangat ekstrim menggambarkan hal ini pada Lundin, 1991 p. 173).
Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia
ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.
c. Dalam
kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya, mind mungkin saja
ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan dijelaskan melalui
pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa Watson menolak mind secara total.
Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan dari
consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama behaviorisme dan kelak
dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun dalam derajat yang
berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat pertama kalinya sejak
jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind.
Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras, namun
dengan berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi populer.
d. Sejalan
dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus menggunakan
metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi adalah observation,
conditioning, testing, dan verbal reports.
e. Secara
bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai
refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak yang tergantikan oleh habits, dan
akhirnya ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin, merangkak,
dan lain-lain.
f. Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu
yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits
yang merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum
utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon Pavlov dan
menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah proses conditioning
yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan phobia (subyek Albert). Kelak
terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak kekurangan dan
pandangannya yang menolak Thorndike salah.
g. Pandangannya
tentang memory membawanya pada pertentangan dengan William James. Menurut
Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan.
Dengan kata lain, sejauh smana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan
adalah kebutuhan.
h. Proses
thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking. Artinya
proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat disamakan
dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih dapat diidentifikasi melalui
gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture lainnya.
i.
Sumbangan
utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan
ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah ilmu yang bertujuan
meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus oleh banyak ahli dan
diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind dan kesadaran,
Watson juga membangkitkan kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang
membuka jalan bagi riset-riset empiris pada eksperimen terkontrol.
2.2
Prinsip-prinsip dasar teori belajar tingkah laku (behavioristik)
Teori belajar behavioristik memiliki prinsip-prinsip dasar yang
perlu dipegang. Fungsinya agar pembelajaran secara behavioristik benar-benar
bisa memperoleh hasil yang diharapkan. Menurut Berliner Gage, terdapat 6
prinsip pembelajaran behavioristik. Prinsip-prinsip tersebut
yaitu:
1. Reinforcement and punishment
Prinsip menambahkan atau mengurangi rangsangan. Sering juga
dikenal sebagai positive and negative reinforcement. Atau secara mudahnya
adalah prinsip memberikan dan menghapus rangsangan.
2. Primary and secondary reinforcement
Primary reinforcement adalah rangsangan berupa kebutuhan pokok manusia
berupa makanan dan minuman serta kenyamanan. Sedangkan secondary reinforcement
adalah rangsangan yang terpengaruh dari asosiasi seseorang.
3. Schedules of reinforcement
Prinsip mengenai pemberian rangsangan/stimulus secara terjadwal.
Dengan pemberian rangsangan yang terjadwal maka respon juga bisa diketahui
pengaruhnya.
4. Contingency management
Contingency management merupakan prinsip yang berhubungan dengan
kesehatan mental seseorang. Contingency management digunakan untuk memberikan
perawatan kejiwaan kepada seseorang.
5. Stimulus Control in Operant Learning
Stimulus Control in Operant Learning adalah prinsip mengendalikan
rangsangan untuk menghasilkan perilaku yang diharapkan. Stimulus yang
tidak terkendali akan menghasilkan perilaku output yang tidak sesuai.
6. The Elimination of Responses
Merupakan prinsip penghapusan perilaku yang tidak diinginkan. Terkadang
perilaku yang tidak diharapkan muncul. Oleh karena itu perilaku-perilaku
tertentu sebagai sebagai output perlu dihilangkan.
2.3
Pengimplementasian teori belajar tingkah laku (behavioristik)
2.3.1 Teori
Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari Pavlov
Dalam lingkup pemerolehan bahasa pertama, classical conditioning ini dapat menjelaskan bagaimana kita belajar makna kata. Seperti diketahui dalam lingkungan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan emosi positif atau negatif. Jika rangsangan-rangsangan bahasa, misalnya kata, frasa, atau kalimat, sering terjadi bersamaan dengan rangsangan-rangsangan lingkungan, maka pada akhirnya rangsangan bahasa tersebut dapat menimbulkan respon emosional walaupun tidak ada rangsangan lingkungan.
Contohnya, Yudi yang berumur sekitar 15 bulan akan menarik taplak meja makan. Ibunya segera mengatakan, “Tidak! Tidak!” sambil menepis tangannya dengan harapan Yudi akan menghubungkan sakit di tangannya dengan kata “Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respon makna yang tidak menyenangkan bagi Yudi. Jika hal ini terjadi berulang kali dan respon emosional sudah ditransferkan dari hukuman fisik ke ujaran “Tidak! Tidak!”, maka pembiasaan telah berhasil. Jadi, kata “Tidak” menghasilkan respon emosional, sama halnya dengan bunyi bel menimbulkan respon air liur. Dengan demikian, ibu tersebut telah berhasil mengajarkan makna “Tidak”. Dengan kata lain, Yudi memahami makna “Tidak” yang berarti suatu larangan.
Dalam lingkup pemerolehan bahasa pertama, classical conditioning ini dapat menjelaskan bagaimana kita belajar makna kata. Seperti diketahui dalam lingkungan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan emosi positif atau negatif. Jika rangsangan-rangsangan bahasa, misalnya kata, frasa, atau kalimat, sering terjadi bersamaan dengan rangsangan-rangsangan lingkungan, maka pada akhirnya rangsangan bahasa tersebut dapat menimbulkan respon emosional walaupun tidak ada rangsangan lingkungan.
Contohnya, Yudi yang berumur sekitar 15 bulan akan menarik taplak meja makan. Ibunya segera mengatakan, “Tidak! Tidak!” sambil menepis tangannya dengan harapan Yudi akan menghubungkan sakit di tangannya dengan kata “Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respon makna yang tidak menyenangkan bagi Yudi. Jika hal ini terjadi berulang kali dan respon emosional sudah ditransferkan dari hukuman fisik ke ujaran “Tidak! Tidak!”, maka pembiasaan telah berhasil. Jadi, kata “Tidak” menghasilkan respon emosional, sama halnya dengan bunyi bel menimbulkan respon air liur. Dengan demikian, ibu tersebut telah berhasil mengajarkan makna “Tidak”. Dengan kata lain, Yudi memahami makna “Tidak” yang berarti suatu larangan.
2.3.2 Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike
Menurut Thorndike, perubahan tingkah laku dapat berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati). Di dalam belajar praktik misalnya, perubahan tingkah laku seseorang dapat dilihat secara konkret atau dapat diamati. Pengamatan ini dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan yang dilakukan terhadap suatu objek yang dikerjaakannya. Seorang guru memberikan perintah kepada siswa untuk melakukan kegiatan praktik merupakan ”stimulus” dan siswa dengan menggunakan pemikirannya, melakukan kegiatan praktik merupakan ”respon” yang hasilnya langsung dapat diamati. Dengan demikian, kegiatan belajar yang tampak dalam teori belajar tingkah laku dalam pandangan Thorndike mengarah pada hasil langsung belajar, atau tingkah laku yang ditampilkan.
Sebagai contoh lain, siswa yang
tidak mau mendengarkan pelajaran, stimulus yang diberikan oleh guru berupa
latihan dengan titik fokus pada anak tersebut secara berulang-ulang dengan
memberikan tugas secara klasikal dan anak tersebut mengerjakan di depan kelas
dalam keadaan siap. Hasil memuaskan dapat diperoleh dengan reward pujian dari
guru dapat menghasilkan respon yang baik dari anak tersebut, sedangkan untuk
siswa yang hanya ingin bermain di kelas, guru dapat membuat pembelajaran
matematika sebagai arena bermain dengan melibatkan operasi hitung penjumlahan
menggunakan benda konkrit sebagai bahan penjumlahan dan pengurangan, guru dapat
mencoba berbagai cara untuk melakukan penghitungan secara klasikal sampai
akhirnya anak tersebut mampu melakukan operasi hitung secara teori.
2.3.3 Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory) dari B.F. Skinner
Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun.
Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan Skinner. Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu pemilihan stimulus yang diskriminatif dan penggunaan penguatan.
Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori pengkondisian operan sebagai berikut:
- Kesatu, mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan perilaku siswa yang positif atau negatif. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku negatif diperlemah atau dikurangi.
- Kedua, membuat daftar penguat positif. Guru mencari perilaku yang lebih disukai oleh siswa, perilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat jadi penguat.
- Ketiga, memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatnya.
- Keempat, membuat program pembelajaran. Program pembelajaran ini berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidakberhasilan tersebut menjadi catatan penting bagi modifikasi perilaku selanjutny.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Teori
Behavioristik merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Kemudian teori
ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap
pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar.
2.
Teori belajar behavioristik memiliki
prinsip-prinsip dasar yaitu:
1. Reinforcement and punishment
2. Primary and secondary reinforcement.
3. Schedules of reinforcement
4. Contingency management
5. Stimulus Control in Operant Learning
6. The Elimination of Responses
3. Pengimplementasian
teori belajar tingkah laku (behavioristik)
a.
Teori Pengkondisian Klasikal (Classical
Conditioning Theory) dari Pavlov
b.
Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari
Thorndike
c.
Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning
Theory) dari B.F. Skinner
3.2 Saran
Sebaiknya dalam pembuatan makalah ini diperlukan banyak refrensi,
sehingga menambah kreatifitas dan keragaman materi yang dibahas. untuk itu
dalam penyusunan selanjutnua diharapkan bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Dahar, Ratna Wilis.1989. Teori-Teori
Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dimyati & Mudjiono.2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pratama, Aidhil . Teori Belajar Behavioristik : Penerapannya dalam Pembelajaran. (file:///H:/BelajardanPembelajaran/TeoriBelajarBehavioristikPenerapannyadalamPembelajaranLompo_Ulu.htm) diakses tanggal 22 Februari 2014
Ratumanan, Tanwey Gerson.2002. Belajar dan
Pembelajaran. Ambon: Unesa University Press.
Slameto.2003. Belajar
dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar